POINT OF VIEW FOR MALL
Banyaknya mall akan juga melahirkan jurang perbedaan yang tinggi antara si kaya dan si miskin. Sehingga si miskin makin tidak akan merasa nyaman. Selain itu dampak lain pembangunan mall adalah warga akan semakin sulit mendapatkan ruang terbuka, seperti daerah resapan air atau taman sehingga pada gilirannya akan menyebabkan banjir. Dampak sosial dari pembangunan mall adalah warga akan terbius menjadi warga yang konsumtif dan menghabiskan waktunya dimall, kalau sang warga punya kemampuan finansial yang baik untuk belanja di mall mungkin tidak terlalu masalah, akan tetapi jika sang warga tak punya uang yang cukup, maka yang akan terjadi adalah angka kriminalitas yang akan semakin tinggi. seperti pencopetan ,penjambretan, perampokan dan lain-lain.
Dalam konsep teori pembangunan perkotaan, yang seharusnya menjadi tempat berkumpul warga kota adalah taman atau area terbuka, namun karena keterbatasan dana dari pemerintah daerah untuk membangun taman baru dan perawatan taman yang telah ada maka mereka sulit mendapatkan taman atau lahan yang enak dikunjungi. Warga kota merasakan taman yang tidak terawat,kotor, kumuh. Ada hal menarik di balik pertumbuhan mall yang meningkat yaitu karena warga kota kehilangan tempat untuk sekedar berkumpul maka mal-mall jadi satu-satunya tempat untuk ajang berkumpul dan interaksi antar warga kota.
Satu lagi dampak negatif dari pertumbuhan mall adalah tersingkirnya satu persatu pasar tradisional yang pada gilirannya mematikan aktifitas pedagang tradisional pribumi. Jumlah pedagang tradisional semakin hari semakin berkurang akibat kalah bersaing dengan pasar modern yang memberi kenyamanan yang lebih. Sebagai catatan dari 37 pasar tradisional yang ada di kota bandung hanya ada dua pasar yang tingkat huniannya diatas 75%, sisanya hanya mempunyai tingkat hunian dibawah 50%.
Menurut survei yang dilakukan di kota bandung, saat ini jumlah pedagang tradisional yang masih giat beraktifitas adalah sekitar 9800 pedagang, jauh dibawah perkiraan tahun 2007 yang masih sekitar 13000 pedagang yang masih aktif, berbanding terbalik dengan pertumbuhan mall. Sepanjang tahun 2009 berdasarkan survei, jumlah pertumbuhan mall di kota bandung sekitar 31,4% . Perkembangan jumlah mall yang tak terkendali menyebabkan penurunan jumlah pasar tradisional. Perbandingan setiap satu mall berdiri maka 100 pedagang dan warung akan gulung tikar.
Disamping itu alasan masyarakat enggan untuk ke pasar tradisional adalah karena kondisi pasar tradisional yang tidak nyaman, kotor, tidak bersih yang menyebabkan orang lebih memilih ke supermarket atau mall yang dari sisi kenyamanan jelas lebih baik. Satu lagi dampak pembangunan mall adalah kemacetan yang yang akan melanda jalan-jalan sekitar tempat mall berada. Yang pada gilirannya membuat stag beberapa ruas jalan. Demikian ulasan saya mengenai dampak pertumbuhan mall di kota-kota besar. Mudah-mudahan bermanfaat.
- Arus Kendaraan di lokasi itu tambah macet, sembraut, acak-acakan
- Angkot lebih banyak ngetem
- Banjir karena Mall itu meninggikan bangunan dengan menguruk tanah yang berdampak pada lingkungan sekitarnya
Lihatlah data tahun 2010 ini. Jumlah kendaraan bermotor 5,6 juta. Dari jumlah itu, sekitar 3,9 juta unit kendaraan roda dua dan 1,34 juta mobil. Jika tidak dikendalikan, 5 tahun lagi jumlah kendaraan itu akan melampaui jumlah penduduk DKI-- yang menurut catatan sipil DKI tahun 2010 jumlahnya 8.522.589 orang.
Pembangunan mal yang tidak terkendali itu juga menyebabkan kemacetan. Polda Metro Jaya menyebutkan bahwa pusat perbelanjaan selalu memakai jalan umum sebagai pintu masuk menuju mal.
ada empat mal yang menjadi sumber kemacetan. Diantaranya Plaza Semanggi. Pintu masuk mal ini persis di depan jalan utama Gatot Subroto atau putaran Bundaran Semanggi. Antrian kendaraan yang masuk ke mal, mengakibatkan kemacetan panjang di Jalan Gatot Subroto dan Sudirman. Sejumlah pusat perbelanjaan lain yang bikin macet adalah Mal Taman Anggrek, Grand Indonesia dan Ambasador.
"Keempat mal itu menjadi sumber utama kemacetan di jalan Jenderal Sudirman, Thamrin, S Parman, Prof Sartio, dan Gatot Subroto. Bahkan kemacetan di jalan-jalan itu bisa sampai beberapa kilometer.
1. Mall memberikan peningkatan pendapatan negara dalam bentuk pajak, karena adanya aktivitas ekonomi disitu. Aktivitas ekonomi yang terjadi juga bukanlah main-main karena faktor penggerak transaksi kaum urban yang datang ke mall sudah tentu didominasi kalangan menengah ke atas. Sejatinya mereka bisa mengeluarkan lebih dari 100rb rupiah untuk setiap kedatangan mereka ke pusat perbelanjaan (akumulasi dari parkir, belanja, makan dan minum, atau kegiatan lain seperti nonton bioskop).
Ini adalah hal yang sangat menggiurkan terutama untuk pemerintah kita sebagai pendapatan negara. Meningkatnya jumlah orang kaya di tahun 2010 ini dan memboomingnya industri kreatif dapat turut mendongkrak psikologis manusia untuk berbelanja. Berbelanja hal-hal yang mungkin tidak terlalu mereka butuhkan.
2. Setiap pendirian mall berarti penyerapan tenaga kerja baru. Setiap pertumbuhan ekonomi sebesar 1% hanya mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 250.000 - 300.000 orang tenaga kerja. Masih belum bisa menutupi angka jumlah pengangguran sebanyak 10 juta orang lebih di Indonesia. Pertanyaannya adalah, tenaga kerja manakah yang akan diserap oleh Mall? Tenaga kerja penduduk dengan KTP DKI Jakarta? Ataukah tenaga kerja Bodetabek yang notabene akan menambah jumlah komuter ke Ibukota?
3. Mall adalah sebuah lambang pengakuan. Pengakuan dari pihak-pihak; terutama tenant (terlebih jika tenant berasal dari luar negeri) bahwa iklim investasi di Indonesia baik. Menurut indeks investasi dunia, Indonesia masuk dalam peringkat 17 negara yang dapat dijadikan tempat berinvestati.Menyusul kenaikan harga IHSG yang nyaris menembus angka 3000, adalah indikasi-indikasi lain yang menunjukkan bahwa secara makro, negara ini memiliki fundamental ekonomi yang kuat.
"Itu bagian dari strategi besar. Jangan lupa kalau mau relokasi siapkan jaringan angkutan umum yang massal. Karena kalau tidak itu hanya memindahkan kemacetan baru ke pinggir kota," kata Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Danang Parikesit saat dihubungi detikcom, Minggu (14/11/2010).
Diakui Danang, keberadaan mal dan kampus di Jakarta memang menarik pengunjung. Kalau dilihat saja, untuk satu mal besar saja ada sekitar 10-20 ribu pengunjung setiap harinya, untuk kampus juga bisa belasan ribu.
"Mal dan kampus pasti menyumbang kemacetan karena menyebabkan mobilitas orang bergerak," tambahnya.
Danang menekankan kepada sistem transportasi yang lebih tertata. Juga aturan konfigurasi lahan di Jakarta. Karena kalau kemudian muncul kemacetan parah di sekitar Jakarta, yang terkena imbas juga kawasan di sekitar Jakarta.
"Pemindahan bukan mal dan kampus bukan solusi tunggal, pemindahan harus ditaruh dispanjang koridor umum," tutupnya.
Sebelumnya mantan Menteri Lingkungan Hidup Emil Salim mengusulkan agar mal dan kampus dipindahkan keluar Kota Jakarta. Emil mmberi contoh kota di AS, Washington DC, di sana mal tidak terdapat di dalam kota.
"Mal terdapat beberapa mil dari kota, jadi penduduk Washington kalau mau ke mal harus berkendara ke luar kota," kata Emil saat dihubungi detikcom.
Selain mal, demikian juga kampus. Sebagai contoh yakni UI, seandainya di kawasan Salemba masih terdapat kampus, bisa dibayangkan macet yang terjadi. Dia menyarankan kampus-kampus di Jakarta dipindahkan ke luar kota ke kawasan Jabodetabek atau Karawang.